Pernikahan Dini, Antara Bahagia dan Bencana

- 12 Juni 2023, 11:16 WIB
ilustrasi pasangan muda
ilustrasi pasangan muda /Stock snap

INDONESAINS- Pernikahan adalah bersatunya dua individu yang berbeda jeris kelaminnya, untuk membangun rumah tangga sesuai hukum dan norma agama yang telah ditetapkan. Pernikahan adalah sakral secara agama dan hukum. 

Terminologi hukum : menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terminologi agama: perikatan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, untuk memperoleh hak atau status kehalalan disertai syarat dan rukun yang telah diatur (oleh Islam).

Pada umumnya pernikahan dilakukan dengan persiapan yang matang, 

  • Matang usia mempelai laki-laki dan perempuan
  • Matang dari segi finansial
  • Matang secara mental /psikologis

Namun yang terjadi di Indonesia tidak seperti yang diharapkan, banyak pernikahan dini terjadi. Lulus SD, lulus SMP bahkan ada yang belum lulus SMP juga harus menghadapi pernikahan. Fakta-faktanya (dihimpun dari Halodoc dan BKKBN):

  • 125 pelajar di Madiun menikah, 47 diantaranya hamil
  • 184 pelajar di Ponorogo ajukan dispensasi nikah, 120 diantaranya hamil
  • 2.784 kasus pernikahan dini terjadi selama 5 tahun terakhir di Aceh
  • BKKBN Jawa Timur menerima pengajuan 15.512 dispensasi nikah, 80% nya karena hamil (12.404) , 20% sebab lain.
  • Direktorat Badan Peradilan Agama pada 2020 mendata 34.000 permohonan dispeasasi nikah (60% nya usia

Kondisi yang sangat memprihatinkan. Usia ideal untuk menikah sesuai UU Pernikahan 1974 adalah minimal 19 tahun (laki-laki), dan 16 tahun untuk perempuan. Direvisi oleh DPR menjadi kedua nya sama minimal berusia 19 tahun. Namun standar pernikahan sesuai kesehatan menurut dr. Boyke DN, SpOG adalah minimal usia 21 tahun.

ilustrasi ibu muda
ilustrasi ibu muda Viet photos
Sebab pernikahan dini. Banyak faktornya, mengapa remaja putri di Indonesia, banyak (terpaksa) menikah di bawah umur.

  • Ekonomi, perempuan dinikahkan dengan pria mapan untuk memperbaiki finansial hidupnya.
  • Pendidikan, minimnya sosialisasi dan informasi yang didapat orang tua tentang kapan seharusnya anaknya menikah dan bahaya pernikahan dini.
  • Internal orang tua, ada kekuatiran tersendiri ortu terhadap anak-anaknya, kuatir terjerumus pergaulan bebas kearena melihat anaknya sudah tumbuh sebagai remaja.
  • Internet dan media, di usia SD dan SMP mereka sudah dibekali gadget alias smartphone. Di internet banyak sekali konten, gambar, video atau podcast yang bisa menjerumuskan anak-anak ke hal negatif (pornografi memicu pergaulan bebas)
  • Hamil di luar nikah. minimnya edukasi seks, membuat anak - anak terjerumus pergaulan bebas. Hamil adalah resiko nya, untuk menutup aib tersebut, mereka dinikahkan dalam usia yg dini oleh orang tuanya
  • Budaya. Beberapa suku, adat istiadat, bahkan secara turun temurun mengisyaratkan nikah muda. Ketika remaja putri dilamar, tabu bagi orang tua untuk menolaknya. Padahal hak orang tua/ perempuan untuk menolak.

ilustrasi pernikahan diri
ilustrasi pernikahan diri Peterpen Photos
Bahaya menikah dini. Bagi sebagian besar kasus menikah dibawah umur yang seharusnya, banyak merugikan kaum perempuan. Mengapa?

  • Resiko tinggi hamil.Organ reproduksi belum matang. Meskipun sudah mengalami menstruasi, namun secara hormonal, rahim belum siap, resiko tinggi untuk hamil karena bisa keguguran. Mereka juga berisiko terkena kanker mulut rahim.
  • Anak cacat /kerdil. Hamil di usia belia, tanpa dibekali pengetahuan yang memadai sebagi seorang ibu, kurang nutrisi saat hamil, tidak tahu cara menjaga kehamilan, menyebabkan anak lahir BB rendah, cacat. Selanjutnya anak bisa kerdiI (stunting) kerana tumbuh kembangnya diabaikan oleh ibunya yang masih muda.
  • Ibu kurang gizi, karena dia tidak cukup memenuhi kebutuhan gizinya, berakibat berebut makan dengan bayi yang dikandung.
  • Tekanan mental (psikologis), menikah mudah bisa memberikan tekanan batin atau stres, karena psikis belum matang membina rumah tangga untuk menghadapi konflik dan masalah di dalamnya. Belum lagi kalau ada yang mengalami keguguran atau KDRT.
  • Tekanan sosial. Pasangan yang nikah muda akan menghadapi problem komunal. Laki-laki muda menjadi kepala keluarga dituntut mencari nafkah, istrinya yang masih belia juga dituntut jadi ibu rumah tangga yang baik. Ketika mereka lalai, masyarakat bisa mengucilkan nya.
  • Resiko PMS (Penyakit Menular Seksual), Aktivitas seksual pada remaja  < 18 tahun, rentan penularan HIV, sifilis atau gonorea. Apalagi kalau salah satunya pernah gonta-ganti pasangan.
  • Resiko KDRT. Belum matang secara finansial dan psikis menimbulkan banyak masalah pada pasangan ini. Mereka mengedepankan emosi, sehingga kekerasan sering terjadi jika berhadapan dengan konflik.
  • Krisis ekonomi. Pernikahan diri kebanyakan membuat remaja putus sekolah. Perempuan harus membesarkan anak, lelaki harus mencukupi kebutuhan rumah tangga. Saking minimnya mereka kadang masih begantung kepada orangtuanya.

Kesimpulan. Tidak seharusnya remaja menikah muda. Orangtua berperan penting untuk mengarahkan, mendidik moral anak, memotivasi cita-citanya supaya bisa hidup mandiri dikemudian hari. Banyak hal yang merugikan seperti gangguan mental, kondisi kesehatan yang buruk dan juga tekanan sosial pada kedua pasangan yang belum matang ini. ***

Editor: Setyo Ari Cahyono

Sumber: Halodoc BKKBN umm.ac.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x